MIT: E-Sports PUBG Diharamkan Ulama Aceh, Mengapa Kodam IM Masih Menggelarnya?

Banda Aceh — Ada dua ancaman terbesar bagi generasi Aceh ke depan, narkoba dan game online. Pernyataan ini pertama kali saya dengar sekitar tiga tahun lalu dari mantan Kapolresta Kota Banda Aceh Kombes Pol Trisno Riyanto pada Safari Subuh Arafah di Masjid Baitus Shalihin, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.

Gubernur Aceh Nova Iriansyah juga mengeluhkan hal serupa. Dalam suatu momen di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh Nova meminta ulama Aceh untuk mengkaji dampak dari game online yang semakin meresahkan pemerintah, ulama, dan masyarakat di Aceh.

Pada 2019, MPU Aceh melalui kajian mendalam dengan mendengar pemaparan pakar psikologi, syariat islam dan teknologi informasi akhirnya menetapkan fatwa haram untuk Game PUBG dan sejenisnya.

Hal ini diungkapkan oleh Teuku Farhan, selaku Praktisi IT Aceh dan Direktur Masyarakat Informasi & Teknologi (MIT) Foundation, Ahad (3/7/2022).

Bahkan warga Gampong Mayang Cut, Kecamatan, Meureudu, Pidie Jaya (Pijay) beberapa waktu lalu memasang spanduk antimaksiat dalam memerangi berbagai kejahatan moral yang kini semakin meresahkan mental dan jiwa, terutama game online dan narkoba.

Imuem Meunasah Gampong Mayang Cut Meureudu Tgk Fakhri mengatakan, menyikapi atas maraknya penyakit sosial atau maksiat lewat gadget berupa judi online serta peredaran barang haram berupa narkoba, maka warga secara bersama-sama memasang spanduk anti maksiat di berbagai sudut gampong.

Game PUBG Sejenisnya Diharamkan di Aceh

Jadi sangat disayangkan ketika Pemerintah, Ulama dan Masyarakat Aceh sepakat menolak maraknya game online di Aceh, tapi ada pihak yang tidak menghormati keistimewaan dan aspirasi masyarakat Aceh dimana pihak Kodam Iskandar Muda (IM) dikabarkan berencana menggelar turnamen E-Sports PUBG Mobile Piala Kasad Tahun 2022.

Selain mengandung banyak konten kekerasan, adegan yang mirip seperti perilaku teroris, game online ini rentan akan kecanduan gim yang masuk dalam klasifikasi gangguan mental World Health Organization.

Untuk menjadi “atlet profesional” game online ini harus berlatih lebih dari 10 jam sehari dan hal ini sangat merusak produktifitas generasi muda ke depan.

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk H Faisal Ali juga telah menegaskan bahwa lomba-lomba yang tidak berpedoman pada syariat Islam diharamkan di Aceh.

“MPU Aceh tetap mengharamkan lomba-lomba yang tidak berpedoman pada syariat Islam diadakan di Aceh. Salah satunya PUBG Mobile,” kata Ketua MPU Aceh Tgk H Faisal Ali kepada media, Jum’at (22/10/2021)

Bermain Video Game Berbeda dengan Olahraga

Bermain-main dengan kata ‘sport’ atau ‘‘olahraga’ memang bisa menjerumuskan perspektif kita untuk memandang eSport.

Tapi jika kita lihat pengertian ‘sport’ dari kamus Webster, kata itu memiliki pengertian “sebuah permainan, kompetisi, atau aktivitas yang memerlukan usaha fisik dan kemampuan yang dimainkan berdasarkan aturan, untuk kesenangan dan/atau pekerjaan”.

Sementara pengertian lain mengenai ‘sport’ adalah “segala tipe aktivitas fisik yang orang lakukan untuk tetap sehat atau untuk kesenangan”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian olahraga sebagai “gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh (seperti sepak bola, berenang, lempar lembing)”.

Bahkan Presiden ESPN John Skipper, mengatakan e-Sport bukanlah olahraga, melainkan hanya sebuah kompetisi.

Saya sebagai penulis, ditambah dengan pengertian ‘sport’ dan ‘olahraga’ lainnya, cenderung setuju dengan Skipper. Rasanya memang olahraga harus memiliki unsur atletisme, sedangkan e-Sport tidak.

Ditambah lagi dari sejumlah penelitian, para pemain game yang terlalu banyak bermain dinilai memiliki hubungan sosial yang kurang, serta tingkat depresi, stres, dan kecemasan yang tinggi.

Dalam artikel yang dipublikasi oleh New York Times berjudul “For South Korea, E-Sports Is National Pastime, “Kecanduan video game akan membuat anak-anak jauh dari pendidikan. Selain itu, beberapa video game juga mengandung kekerasan, seperti Grand Theft Auto, serial Call of Duty, dan lain-lain, yang bisa mempengaruhi perilaku anak.

Dalam suatu konferensi pers, akhir November lalu, beliau menyampaikan secara terang-terangan kepada publik terkait penolakannya atas istilah e-Sports, dan dirinya mengusulkan untuk dihapus saja!

Peter Beuth adalah seorang politisi asal Jerman yang juga menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri dan Olahraga di negara bagian Hesse.

“E-Sports itu tidak ada kaitannya dengan olahraga, kita harus menghapus istilah tersebut,” tukas Beuth, dalam pembahasan esports di Gymnastics & Sports Congress di Darmstadt.

“Saya masih tidak mengerti bagaimana menggerakkan ibu jari dan telunjukmu bisa disebut sebagai bagian dari olahraga, bahkan jika ada yang bergerak di layar sekalipun.”

Kompetisi Digital yang Produktif

Di era digital yang serba cepat ini pihak penguasa dituntut untuk dapat beradaptasi sekaligus ekstra hati-hati dalam memilih platform digital untuk hal produktif. Jangan sekedar ikut-ikutan.

Fokuslah pada kompetisi bersifat kreasi, menjadi pencipta (creator) seperti perlombaan menciptakan aplikasi yang mampu mengatasi masalah di lingkungan masyarakat, membuat game bernuansa kearifan lokal seperti yang pernah dirintis oleh komunitas IT lokal Aceh, MIT Foundation.

Daripada sekedar menjadi pemain dan pengikut yang bahkan merugikan negara secara ekonomi dimana game-game online terpopuler yang beredar di Indonesia ini sebagian besar milik asing dan hanya menguntungkan ekonomi negara lain.

Selain itu kontennya tidak sesuai syariah, ditambah kerusakan moral akibat kecanduan game yang kini telah banyak terjadi.

Untuk itu kami berharap para pengambil kebijakan yang bertugas di Aceh hendaknya menghormati kearifan lokal yang ditetapkan di Aceh untuk menjaga keberlangsungan kehidupan bersyariat di Negeri Serambi Mekkah.

Sumber : Infoaceh.net

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *