Kemenag Himbau Orangtua Waspadai Lingkungan Virtual Anak

[Foto]: National Geographic
[Foto]: National Geographic

SEKJEN Kementerian Agama (Kemenag) Bahrul Hayat mengimbau para orang tua untuk mewaspadai lingkungan virtual anak. Sebab, baik buruknya anak di masa mendatang tidak lagi dapat dilihat sebagai dampak dari sekolah, masyarakat dan rumah, tetapi juga peralatan komunikasi yang digunakan.

“Pengawasan anak tidak lagi terbatas pada lingkungan pendidikan, sosial dan di rumah seperti beberapa tahun silam, tetapi juga dunia realitas maya,” kata Bahrul Hayat ketika membuka seminar nasional pendidikan dengan tema “Membumikan Kurikulum 2013 dan Karakter Ahlak Mulia” di Jakarta, Kamis (30/1).

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa realitas dunia maya – dengan dukungan perangkat komputer, telepon genggam – memungkinkan penggunanya dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh komputer (computer-simulated environment). Lingkungan realitas maya, seperti juga disebut Wikipedia, kini umumnya menyajikan pengalaman visual, yang ditampilkan pada sebuah layar komputer atau melalui sebuah penampil stereokopik, tapi beberapa simulasi mengikutsertakan tambahan informasi hasil pengindraan, seperti suara melalui speaker atau headphone.

Menurut Bahrul Hayat, interaksi anak kini sulit dibatasi dengan informasi yang ada di sekitarnya. Karena itu Sekjen Kemenag mengimbau orang tua untuk memberikan pemahaman yang tepat terhadap peralatan komunikasi yang dimilikinya.

Nilai Kebangsaan Pendidikan karakter pada anak yang diterapkan pada kurikulum 2013, menurut Bahrul Hayat, harus mengedepankan nilai kebangsaan, nilai humanistik kebangsaan dan nilai ketuhanan. Ketiga nilai karakter itu harus harus diolah sehingga dapat melahirkan ahlak mulia. Sehingga ke depan bisa diarahkan menjadi warga negara yang baik.

Karena itu, upaya mewujudkannya, menurut Bahrul, perlu keterpaduan dari seluruh pemangku kepentingan. Sebab untuk mengintegrasikan lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat perlu kesamaan persepsi nilai.

Bisa jadi anak yang di sekolahnya diajarkan bagaimana cara berdemokrasi yang baik tetapi di rumahnya, keluarga atau orang tua memiliki nilai yang berbeda. Orang tua tak punya tradisi berdiskusi, apa lagi berdebat dengan cara santun.

Bisa jadi terjadi benturan nilai bahwa anak di sekolah dilarang merokok, tetapi di rumah orang tua merokok di sembarang tempat dengan cara tak santun. Dapat terjadi, anak di sekolah diajarkan bagaimana cara menghormati perbedaan agama, tetapi di rumah orang tuanya radikal.

Bisa pula, anak di madrasahnya diajarkan oleh ustadz cara shalat tepat waktu, tetapi orang tua tidak memberi contoh di rumah. “Semua itu merupakan benturan nilai, yang berlanjut pada konflik batin bagianak,” ujar Bahrul Hayat seperti dilansir situs Kemenag.

Pada seminar tersebut tampil sebagai narasumber Direktur Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Nur Kholis Setiawan, dan Zulfikri Anas dari Pusat Kurikulum Kemendikbud.

Sumber: Islampos.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *